Seorang perempuan Kanada memenangi kasus
gugatan hukum guna menghentikan klinik kesuburan di Canberra, Australia,
menghancurkan sperma beku suaminya yang sudah meninggal.
Suaminya
sebelum meninggal memberikan contoh dua sperma kepada Canberra
Fertility Centre pada Januari 2009 setelah didiagnosis menderita kanker
di kakinya. tabita skin care
Dokter sang pria merekomendasikan dia menyimpan
spermanya sebelum menjalani kemoterapi dan terapi penyinaran karena
pengobatan ini nantinya akan memengaruhi tingkat kesuburannya.
Dia
menandatangani formulir di klinik tersebut yang menyatakan dia memahami
bahwa sperma itu akan dihancurkan bila dia meninggal atau menderita
cacat permanen.
Setelah menjalani terapi, dia sembuh, tetapi kemudian meninggal pada April 2012 di usia 26 tahun.
Ketika
istrinya kemudian menanyakan kepada klinik mengenai sampel sperma
tersebut, dia diberi tahu bahwa karena suaminya sudah meninggal, klinik
memiliki tanggung jawab hukum untuk menghancurkan sperma tersebut.
Dokumen
yang disampaikan ke pengadilan menunjukkan bahwa keduanya bertemu di
Universitas Toronto di Kanada ketika sang pria mengikuti program
pertukaran, dan si istri pindah ke Canberra seminggu setelah suaminya
didiagnosis terkena kanker.
Pasangan itu berencana memiliki anak
menggunakan sperma beku setelah dipastikan pada tahun 2010 bahwa kanker
yang diderita suaminya tidak bisa dilawan, tetapi kemudian membatalkan
rencana mereka.
Dalam kesaksian, pria itu beranggapan bahwa
sampel itu otomatis akan diberikan kepada istrinya, mesikpun ketika
meninggal suaminya tidak membuat surat warisan.
Dalam
keputusannya hari Rabu, Mahkamah Agung Canberra lewat Hakim David Mossop
mengatakan, sperma itu adalah milik sang pria sehingga harus menjadi
bagian dari warisannya.
Mahkamah Agung meminta klinik untuk tidak menghancurkan sperma tersebut sepanjang biaya penyimpanannya tetap dibayar.
No comments:
Post a Comment